Ketika s[u]atu hari

Thursday 24 December 2009

Seiyanya alam menjadi acuan bagi peradaban manusia untuk menentukan perhitungan waktu untuk kebudayaannya. Matahari, bulan, bintang, angin, ombak, binatang, musim, dan pergerakan benda langit merupakan beberapa pedoman manusia untuk menetapkan - yang kita sebut - kalender.
Detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun adalah batasan waktu yang dibatasi oleh angka, kemudian kita mengenalnya dengan tanggal. Beberapa manusia tentunya 'mengistimewakan' minimal satu hari (tanggal tertentu), sebagai peringatan akan sesuatu.

Ap(d)akah ulang tahun? saya lebih senang menyebutnya dengan 'ulang tanggal'
Ap(d)akah hari raya?
Ap(d)akah hari anti korupsi?
Ap(d)akah hari Batik?
Ap(d)akah hari AIDS?
Ap(d)akah hari Ibu?

Angka dalam kalender tentunya hanya sebuah pajangan dalam pemudahan sistem administratif. Batasan hari-hari tertentu, tentunya hanya sebuah pajangan dari peran sosial. Dan memperingati dari sebuah peringatan merupakan alienasi dari keterlibatan ingatan.
Sekali lagi kita membuat batas dari suatu batasan yang bersifat terbatas. Kita dipaksa untuk mengingat tanggal lahir kita, tetapi kita lupa akan kondisi kelahiran kita. Kita dipaksa untuk memperingati hari Ibu, tetapi kita lupa mengapa kita terlahir dari ibu kita.

salam
Selamat ulang tanggal, setelah dua hari saat ibu mendapat ucapan hari dari anak-anaknya, esok.

ranah Kekunoan dalam tataran Kekinian

Monday 7 September 2009

Spiritual, sesosok ranah ‘ada’ dalam lingkungan alam semesta. Ranah ini memiliki corak meta atau adi suatu entitas. Kondisi ini tak terbatas pada hal-hal yang tidak mampu diindra melainkan juga spektrum situasi dimana pengetahuan manusia saling berkelindan untuk dimaknai secara rasional. Distansi entitas [ke]ada[an] hal ‘melampaui’ ini mengakibatkan adanya suatu intervalisasi [ke]berada[an] dalam gudang pengetahuan manusia bersemayam. Hal ini menjadikan posisi pengetahuan pada sifat spasial temporal yang nantinya akan berkembang pada struktur hirarkis. Apabila diandaikan terdapat hal utama dan pertama dalam segala yang ada pada manusia, maka struktur ini dipandang sebagai pola vertikal pada ranah-ranah horison reaksi manusia terhadap aksi alam yang sebelumnya mengambil posisi manusia untuk ‘menguasai’ ruang-waktu. Spiritualitas akhirnya menjadi perlu dan wajib untuk dirasionalisasikan, sebagai balasan untuk alam, dan nanti akhirnya menunjukkan keutamaan pengetahuan sebagai pedoman manusia untuk bereaksi demi kelangsungan hidupnya.

Memarginalkan spiritualitas, adalah hal yang terjadi pada fragmentasi pengetahuan-pengetahuan manusia terbahasakan. Sekat-sekat ini dapat dikatakan sebagai prarasional, rasional, dan transrasional. Bagian yang mengeliminasi spiritualitas pada tatanan pengetahuan manusia terletak pada ranah rasional, yang nantinya wilayah sains dan logika akan mengambil alih. Dengan tak bergeming pada fragmen itu, menandakan bahwa wilayah prarasional dan transrasional adalah menempatkan pengetahuan atau menunjukkan keberadaan yang sama, yakni nonrasional. Akhirnya menjadi agak terang bahwa gradasi pengetahuan itu terbukukan pada aliansi rasional dan nonrasional, meskipun secara hirarki keberadaan rasional ada setelah dan sebelum nonrasional. Hal ini sekali lagi menunjukkan bahwa spiritualitas menempati posisi metarasional, artinya ia mampu untuk menjadi prarasional atau juga mampu untuk menjadi pascarasional.

Dalam spektrum epistemologi, rasional dan nonrasional merupakan wujud yang berjalinkelindan terhadap peradaban kekunoan dan kekinian pada tataran bahasa. Semesta bukanlah lahan untuk dipersepsi, tetapi cenderung untuk diinterpretasi. Alih-alih masuk akal atau tidak, manusia memiliki jiwa yang mampu menganalisa tiap pengetahuan dengan bijaksana.

salam
bahasa bukanlah wujud janggal atau benar, melainkan tataran bi[a]sa dalam pengalaman manusia

Ajakan dari sebuah Ejekan

Saturday 5 September 2009

Alkisah, seorang raja memberikan pilihan kepada salah satu menterinya, atau kekayaan atau kebijaksanaan, dan sang menteri memilih kekayaan. Pilihan menteri ini tentu saja sangat beralasan. Pilihan itu diambil karena dia belum meiliki akan sesuatu tersebut, dan dalam hal ini adalah kekayaan. Karena dia telah memiliki kebijaksanaan.

Kita tidak membutuhkan penghormatan, karena kita telah memiliki kehormatan. Kita tidak ingin memiliki akal, karena akal telah melekat dalam diri. Dan kita tidak membutuhkan kebaikan, karena kebaikan terlibat dalam kehidupan.

Kehidupan sosial telah membuat kita terjerembab dalam dimensi kebersamaan yang senantiasa terbangun ketika kita beraktivitas. Kehidupan sosial bukanlah sosok layar penampakan, yang merekam sikap kita terhadap yang lain. Sikap kita merupakan sikap pribadi yang terbentuk dari dalam, bukan dibentuk dari luar. Arus kehidupan kita bukanlah mata air yang dipengaruhi dari luar, seiyanya arus itu mampu untuk membentuk laut di luar kita.

Terkadang kita butuh informasi dari dunia luar, mengingat cermin memberikan informasi yang salah mengenai kiri-kanan, kita tidak mampu mengetahui diri kita. Pribadi yang utuh bukanlah pribadi yang melepaskan dari semesta yang ada di sekelilingnya, melainkan semesta yang dijadikan penuntun dalam sebuah keutuhan. Dengan saran kita berkembang dan dengan kritikan kita mampu berjalan.

Kita berbuat bukan untuk sekeliling kita, kita beraktivitas bukan untuk semesta di luar kita. Kita berbuat untuk pribadi, pribadi yang mencakup semesta. Sikap yang tergradasikan dari ke'ada'an.

salam
balas dendam merupakan salah satu jenis keadilan, yang liar

bencana Ilmu atau bencana Alam

Thursday 3 September 2009

inilah yang kita tahu
segala benda itu menyatu
seperti hubungan darah
mengikat seluruh keluarga

yang terjadi pada bumi
terjadi juga pada semua penghuni
manusia tidak merajut jaring kehidupan
ia hanyalah secarik benang yang ada padanya
apapun yang ia lakukan pada jaring itu
akan mengena pada dirinya sendiri
(Ted Perry)


Anthroposentris telah menjadikan bumi sebagai peng'ada' kedua dalam eksistensi alam. Hal ini dimulainya klasifikasi pengetahuan dalam ranah kemanusiaan. Ilmu yang membatasi diri pada ranah indrawi dan rasional, menjadikan ketakterlibatan interaksi antara manusia dengan alam.

Ilmu telah dimanfaatkan manusia untuk memenuhi keserakahan manusia akan kebutuhan. Ilmu dengan setia menemani perusakan bumi oleh manusia. Ilmu dijadikan alat legitimasi demi kehidupan manusia yang lebih baik (bukan lebih benar).

Alam harus diburu dalam sifatnya yang liar, dipasung untuk melayani dan dijadikan budak. Ia harus dikerangkeng dan disiksa agar memberikan rahasia-rahasianya. (Francis Bacon)



Gaia akan selalu berautopeiesis pada titik ketakseimbangan yang ada pada dirinya. Manusia memiliki posisi yang sama dengan entitas yang lain, kepunahan manusia, keseimbangan bumi?

ilmu, atau knowledge atau science
ilmu, atau etimologi atau pragmatis
ilmu, atau esensi atau eksistensi

salam
ilmu akan terwujud dengan tindakan, dan tindakan akan mewujud apabila dilatari ilmu

Moral, amoral, atau imoral

Monday 31 August 2009

Benarkah apabila semua rumus fisika (dalam kerangka tiga dimensi) akan kembali pada hukum kedua Newton, F=ma?
Benarkah apabila kita memakai teori kohomologi dalam kependudukan, maka hasilnya jumlah manusia semakin berkurang?
Benarkah apabila kita membuat segitiga dalam permukaan bola, maka ketiga sudutnya bisa 90 derajat?
Benarkah apabila kita melihat lukisan dengan paradigma kriptologi, maka yang terlihat adalah sebuah kata-kata?
Benarkah apabila kita menghitung percepatan kereta dan mobil dengan perhitungan kalkulus, maka selamanya kedua benda besi itu bergerak dengan kecepatan yang sama?
Benarkah apabila kita memakai akal biner, maka 1+1 bukan sama dengan 2 ?

Apabila kita melihat diri kita di cermin, maka kita akan serasa melihat diri kita, cermin tidak mungkin berbohong. Tetapi cermin juga menunjukkan posisi yang salah pada diri kita, bagian kiri terletak di sebelah kanan dan demikian sebaliknya, cermin juga berbohong.

Paradigma, merupakan hal yang akan memberi nilai pada tiap karakter, status, aktivitas, dan peran dalam masyarakat. Pembuktian merupakan derivasi dari paradigma ilmiah yang harus menunjukkan pada kebenaran. Tetapi apakah kebenaran itu selamanya bisa ditunjukkan? Matahari tidak membutuhkan api lilin untuk menunjukkan dirinya. Tidak perlu adanya pembuktian, suatu saat kebenaran akan terungkap.

Salam
Sebagian besar orang akan berusaha untuk mengubah dunia, tetapi saya akan berusaha untuk mengubah diri

Puasa atau terPaksa

Wednesday 26 August 2009

Masih saja, di televisi banyak yang demam Ramadhan. Bahkan para “ahli agama” pun juga terjebak pada kondisi ini.

Bulan Ramadhan, menjadi lahan bisnis bagi orang-orang entertainment dalam budayanya. Bulan ini menjadikan tayangan-tayangan televisi menjadi monoton dengan acara-acaranya yang bertemakan religi Islam. Bulan ini juga melambungkan orang-orang yang pandai agama menjadi artis, menjadikan mereka bintang sinetron dari acara seputar Ramadhan. Perbedaan menjadi semakin kentara dengan adanya perubahan posisi dalam suatu negosiasi, sang artis menjadi ahli agama, dan seorang ahli agama menjadi artis.

Bulan Ramadhan adalah bulan suci, bulan yang penuh berkah, bulan dimana derajat kebaikan mendapat perhitungan yang lebih, bulan dimana 1000 setan dibelenggu dan 1000 malaikat diturunkan ke bumi, bulan dimana ampunan diberikan pada orang-orang yang meminta ampun,….kata mereka.

Tetapi apakah demikian beradanya, mengapa pada bulan non-Ramadhan mereka tidak bersuara; bulan dosa, bulan ampunan tidak diberikan, bulan dimana 1000 setan dikeluarkan dan 1000 malaikat dikerangkeng, bulan kesia-siaan, aneh…..sungguh aneh.

Padahal dalam puasa sudah melekat makna ikhlas, padahal dalam puasa ada makna menahan diri, dan pada puasa sudah terdapat makna permintaan. Maaf, adalah hal yang wajar kita minta. Tetapi seringkali maaf diposisikan berbeda dengan sesuatu yang kita minta. Ampunan, petunjuk, dan harapan adalah hal yang biasa kita pinta, tetapi maaf? kita memliki paradigma lain tetntangnya.

Mengapa bulan Ramadhan lebih suci dari bulan yang lain?
Bagaimana kalau kondisi bulan non-Ramadhan sama dengan bulan Ramadhan?
Bagaimana jika logika mengenai bulan di balik?

Seiyanya, bulan Ramadhan bulan tontonan, bukan tuntunan. Bulan yang tepat acara televisi mengenai Islam, bulan yang tepat untuk berdagang, bulan yang tepat untuk menunjukkan “saya Islam”.

Salam
puasa yang terlibatkan

SUARA atau SARA

Saturday 15 August 2009

kala SD.........
Saya diberitahu oleh guru bahwa Soekarno dan Hatta adalah proklamator kemerdekaan Republik Idonesia. Mereka membacakan sebuah kalimat panjang yang disebut dengan proklamasi. Proklamasi ini membawa Indonesia sebagai bangsa merdeka, bangsa yang memiliki kemandirian tanpa adanya intervensi asing dalam pengambilan kebijakan-kebijakannya.

ketika SMP.......
Saya mendapatkan pengetahuan baru, ternyata Soekarno dan Hatta ketika membacakan teks Proklamasi bukanlah keinginan sendiri, melainkan desakan dari para pemuda yang melihat “vacuum of power” sebagai imbas dari perang dunia kedua. Perhelatan begitu hebat antara golongan muda dengan golongan tua, sekedar untuk memutuskan kapan Proklamasi dilaksanakan.

waktu SMA........
Hal baru yang saya dapat, ternyata Proklamasi tersebut juga mendapat ijin dari petinggi negara “penjajah”. Hal ini cukup menohok, karena Proklamasi bukanlah sesuatu yang diperjuangkan, melainkan pemberian. Jadi pertarungan yang terjadi antara golongan tua dengan golongan muda merupakan hal yang “merugi”, karena dilaksanakan pada saat itu atau kapan pun hasilnya akan sama saja, Indonesia akan merdeka.

saat KEKINIAN........
Baik golongan tua maupun golongan muda ternyata dikendalikan oleh suatu organisasi pembentuk kemerdekaan sebuah negara. Keterlibatan ini tidak dilakukan secara langsung melainkan melalui paradigma dan visi dunia. Pandangan yang menunjukkan adanya hak-hak yang diakui, pandangan kebebasan berpendapat, dan pandangan kebebasan dari penjajahan bangsa asing. Agak berat menerima kenyataan ini, tetapi harus diakui, bagaimana cara kita berfikir, mengapa kita berfikir, dan tindakan apa yang harus dilakukan, pada saat itu, merupakan rancangan yang dibentuk.

kemudian.......
Golongan muda telah membuat 17 Agustus merupakan hari kemerdekaan Indonesia. Pemuda memiliki peran penting dalam penancapan tonggak sejarah di Indonesia. Pemuda menduduki posisi teratas dalam materi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kini, pemuda berjuang agar suaranya selalu didengar oleh pemerintah-pemerintah agar cita-cita Indonesia tercapai dan tergapai. Dari berakhirnya perang dunia kedua sampai sekarang, perubahan (kebijakan) pemerintah selalu diawali dengan hadirnya suara pemuda di jalan-jalan. Pemuda, melalui nilai-nilai yang diperjuangkannya, menjadi peng-awal dari hadirnya pergantian atmosfer politik pemerintahan, yang tentu saja akan berimbas pada kemakmuran rakyat di sekitar khatulistiwa.

kemungkinan.......
Nilai-nilai seperti apa yang kita perjuangkan?
Ketika kita bersuara, logika apa yang kita pakai, apakah logika biner atau logika fuzzy?
Ketika kita berjuang, etika apa yang kita pakai, apakah etika deontologi atau etika utilitarian?
Ketika kita membela, pihak mana yang kita bela, golongan saya, kemanusiaan, atau keterlibatan entitas pengada?
Terlepas apakah ilmu itu bebas nilai atau terikat nilai, yang pasti, bagaimana kita berfikir, bagaimana kita berujar, dan bagaimana kita bertindak, tidak akan terlepas dari nilai-nilai yang membentuk kita. Mengingat pemuda adalah orang dengan pengalaman setengah, gampang mengikuti emosi-nya, dan terlalu asyik dengan puber intelektualnya, membawa kita agar memerhatikan apakah nilai yang kita suarakan merupakan pesanan, rancangan, atau sesuatu bagian dari sebuah konspirasi. Seperti halnya kita mengenal peradaban besar pada masa lalu karena keruntuhannya, apabila tidak runtuh, kita tidak akan mengenalnya, karena mereka berdampingan dengan kita sekarang ini.

bukanlah........
Kemakmuran seperti apa yang kita perjuangkan demi bangsa ini?
Kesejahteraan seperti apakah yang ingin ada pada setiap penduduk Indonesia?
Kebaikan (ketidak berpihakan) apakah yang akan menjadi hukum di Indonesia?

melainkan......
Apa yang membentuk paradigma saya?
Mengapa saya memiliki paradigma ini?
Latar apa yang membuat saya memiliki nilai ini?

salam
demokrasi tidak mengakhiri konflik, ia hanya menggeser konflik dari tataran fisik ke tataran mental

Pertandingan atau Perbandingan

Tuesday 11 August 2009

Kemenangan atau sekedar perbandingan?

Kemarin, hari kesembilan pada bulan delapan 2009, saya menjadi staff ahli dari seorang juri yang memiliki kewenangan tertinggi dalam menentukan kemenangan lomba kebersihan lingkungan. Keseluruhan rombongan dewan penilai itu, yang berjumlah 12 orang, berjalan menyusuri jalanan tiap rumah dan kami mendapatkan lingkungan yang sangat bersih, berbeda dengan hari sebelumnya. Di lain tempat, kami menemukan kondisi yang seadanya, para warga tidak bergiat membersihkan lingkungan. Kondisi di tempat itu sama dengan hari-hari sebelumnya.

Singkat cerita, dari kriteria penilaian yang ada pemenangnya bukanlah dari warga yang memiliki kondisi sangat bersih atau kondisi yang rapi, melainkan dari seorang warga yang mampu mengatur situasi rakyat sekitar dan meregulasi warga disekitar tempat tinggal dia untuk bekerja dan pelayanan yang sigap. Jejak yang ada pada hari itu menorehkan sebuah pertanyaan, apakah kemenangan itu?

Apakah kemenangan itu?

Adakah juara kedua dalam perlombaan?

Apakah kualitas bisa sekedar dinilai dengan “angka”?

Kita mengenal malam hari karena ada siang hari, kita mengenal laki-laki karena ada perempuan, kita mengetahui kanan karena ada kiri. Andaikan tidak ada siang hari, tidak ada perempuan, tidak ada kiri, apakah kita akan mengetahui situasi oposisinya?

Kita mengetahui pemenang karena ada yang kalah, coba kita berfikir, tidak ada yang kalah, apakah pemenang itu bisa disebut pemenang? Mengapa perlu diadakan juara kedua, apakah juara kedua itu benar-benar juara? Bagaimana kita mengetahui sang juara menempati posisi tertinggi, dari angka? Apakah kualitas seseorang bisa ditentukan dari angka, apakah itu tidak merujuk pada kuantitas?

Hampir di setiap pertandingan atau perlombaan atau segala hal yang berkaitan dengan hal itu, menggunakan kriteria dan menorehkan angka untuk memberi penilaian. Kemudian angka tersebut kita bandingkan dengan angka lain dan tentu saja angka tertinggi memiliki hak untuk mendapatkan gelar sang juara. Sesederhana itu, semudah itu.

salam
Menang Tanpa Mengalahkan

ketiadaan - keadaan

Friday 7 August 2009

manakah yang lebih hakiki, gelap atau terang?
manakah yang lebih sejati, kebaikan atau keburukan?
manakah yang lebih pasti kebenaran atau kesalahan?
manakah yang lebih diakui, keindahan atau kejelekan?

manusia merupakan makhluk spiritual yang bermateri, menjalani kehidupan di permukaan bumi dengan segenap hukum alam yang berlaku, tanpa kecuali mengikat seluruh entitas pengada alam semesta.
manusia merupakan makhluk yang mengemban akal, menjadikan dia kemampuan memiliki penilaian terhadap sesuatu, memiliki pengetahuan bagi sesuatu, dan memiliki pembelajaran bagi sesuatu.

apakah tanya, apakah nyata?
apakah ada, apakah tiada?