tatkala ketiadaan kema[mp]uan

Friday 23 April 2010

Hati-hati !!!
Mungkin kita sering mendengar kalimat (frase) tersebut. Dua kata yang sering diucapkan oleh orang tua, saudara, saudara orang tua, orang tua dari orang tua, sahabat, orang lain, dan orang-orang yang mengucapkan hal tersebut pada kita. Dua kata yang senantiasa menemani kita dalam menjalani segala aktivitas keseharian, dua kata yang selalu dikatakan saat-saat terakhir dalam sebuah perjumpaan, dan dua kata yang tidak asing dari seseorang ke manusia yang lain.

Hati-hati !!!
Kita sering mendengarnya, tetapi apakah kita sering memahaminya?
Hati-hati, tentu bukan sekedar berhati-hati ketika di jalan raya, tentu bukan sekedar berhati-hati dalam sebuah pergaulan, dan tentu saja bukan sekedar berhati-hati ketika bertemu dengan orang asing. Kita selayaknya sudah akrab dalam makna ini. Kata yang telah diwariskan dari generasi ke generasi, kata yang memiliki makna lebih dalam dari katanya. Sebagian dari makna itu adalah hati-hati dalam berfikir, hati-hati dalam berkata, hati-hati dalam bertindak, dan hati-hati dalam berdoa.

Hati-hati !!!
Ketika kita melaksanakan ujian di kelas (sekolah), orang tua kita selalu berpesan "hati-hati dalam mengerjakan soal". Kenapa mereka tidak berkata "pikir-pikir dalam mengerjakan soal" ?
Ketika kita akan pergi dari tempat dan waktu orang tua kita, mereka juga berpesan "hati-hati dalam perjalanan", mengapa mereka tidak berpesan "pikir-pikir dalam perjalanan" ?

Hati-hati atau Pikir-pikir ?
Apabila kita kerucutkan arti hati dalam perasaan, dan arti pikir dalam logika, maka kita akan menemukan posisi makna akan kehadiran kata tersebut. Manusia merupakan makhluk spiritual yang bermateri, memiliki kemampuan dalam mengimpresi sesuatu di luar dirinya. Sesuatu yang tercerap indera, sesuatu yang masuk dalam logika, dan sesuatu yang diyakini dalam hati. Tentu kita mengenal pikiran kita dengan sangat baik, karena kita telah melatihnya sejak kita berusia 6 tahun. Kita mampu menilai benar-salah, indah-jelek, dan baik-buruk sesuai dengan pengetahuan pikiran kita, logika kita. Di lain sisi, lebih banyak petuah, wejangan, nasehat, kata-kata bijak, yang memposisikan perasaan lebih tinggi nilainya daripada pikiran. Tradisi yang tertinggal dan sedang dan masih berjalan membuktikan hal tersebut.

Pikir-pikir !!!
Kemudian mana yang lebih utama? mana yang lebih pertama? "hati-hati" atau "pikir-pikir" ? Bagaimana seandainya pesan kedua orang tua kita adalah pikir-pikir di jalan! pikir-pikir dalam bertindak! pikir-pikir dalam bergaul! pikir-pikir ketika bertemu orang asing! dan pikir-pikir dalam berdoa! Aneh, tapi kita tidak tahu konsekuensinya seumpama kalimat tersebut yang diucapkan kepada kita.

Pikir-pikir !!!
Tentu saja untuk melakukan "hati-hati" kita perlu "pikir-pikir" dan apakah juga berlaku untuk sebaliknya, untuk melakukan "pikir-pikir" kita perlu "hati-hati" ?


salam
bukanlah merasa bisa, melainkan bisalah merasa