Cinta adalah segala-galanya?

Saturday 3 December 2011

Seringkali kita mendengar pepatah atau kata-kata bijak mengenai cinta.
Cinta adalah segala-galanya
Cinta itu buta
Cinta itu bukan logika
Cinta tidak memandang harta
Cinta tidak memandang kelas sosial
Cinta harus diperjuangkan
Cinta harus dipertahankan
Cinta melampaui ruang dan waktu
Cinta tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata
Cinta adalah harapan
Dan lebih banyak lagi, mungkin saya memang tidak bisa menuliskannya satu-persatu.

Cinta adalah segala-galanya?
Cinta merupakan matra afektivitas yang hanya mampu untuk dijalani. Cinta bukan bagian dari logika yang mampu kita ambil untung dan ruginya. Bukan pula bagian dari indera yang mampu kita ambil fisiknya. Tetapi cinta lebih berada pada perasaan kasih, berbagi, bersama, dan sesuatu yang mungkin sulit dijelaskan dengan kata-kata. Kita melihat bahwa dalam sejarahnya cinta senantiasa menjadi bumbu dalam keberadaan seseorang maupun peristiwa besar. Dengannya sesuatu menjadi hidup dan dengannya pula sesuatu menjadi sakral. Tetapi cinta juga seringkali terjadi pada sesuatu yang tidak “normal” tetapi disemangati untuk “benar” dan “baik”. Misal; cinta antara perempuan kaya dengan laki-laki miskin, cinta antara putri berkuasa dengan laki-laki tak berdaya, cinta antara pangeran dengan seorang pembantu rumah tangga, cinta antara usia remaja dengan usia separuh baya, cinta antara anak raja, cinta antara pewaris budaya, dan cinta untuk kepentingan umum yang lebih besar.

Meskipun demikian apakah kita harus mempertahankan cinta walaupun salah?
Apakah kita harus merawat cinta ketika kehilangan proses kehidupannya?
Menghentikan cinta ketika dikatakan salah?
Memperjuangkan cinta meskipun menabrak etika dan dusta?
Mengejar cinta walaupun mengkhianati diri kita?
Mengungkapkan cinta meskipun tanpa tanggung jawab?
Mengafirmasi cinta ketika kasihan?

Cinta adalah segala-galanya?


salam
Sedikit pengetahuanmu, bisa membahayakan ketidaktahuanmu

Ternyata................ dibalik ʇǝɹƃǝɹ

Saturday 17 September 2011































salam
marah merupakan hal biasa dimana setiap orang akan dan pernah mengalaminya, tetapi marah pada orang yang tepat, pada waktu yang tepat, dengan intensitas kemarahan yang tepat, dan sesuai pada situasi dan kondisi yang tepat, jarang orang bisa melakukannya




Wednesday 3 August 2011

Ada seorang siswa yang bisa dikatakan nakal di suatu sekolah, yang disayangi oleh salah seorang guru. Setiap siswa itu melakukan kesalahan, dia cukup bilang “aku menyesal” pada gurunya dan dia terbebas dari hukuman. Di lain kesempatan dia melakukan kesalahan, dan dengan berucap “aku menyesal”, pasti lansung dimafkan dan terbebas dari hukuman. Suatu ketika dia bermain api lilin di perpustakaan, tanpa sengaja dan kejadiannya cukup cepat, api tersebut membakar perpustakaan. Ia berlari untuk mencari guru yang menyayanginya dan bilang dengan sungguh “aku menyesal”. Tetapi sayang dia tidak akan pernah mengucapkannya karena sang guru ikut terbakar dalam peristiwa tersebut. Dari saat itu sepanjang hidupnya dia tidak pernah bilang “aku menyesal”.

Kita seharusnya tidak pernah melakukan penyesalan, karena setiap perbuatan yang telah dan akan dilakukan merupakan sebuah kulminasi dari endapan kebaikan dan kebenaran pengetahuan. Dengan penyesalan maka kita tidak pernah siap untuk menghadapi tanggung jawab. Karena tanggung jawab bukan reaksi dari aksi yang telah dilakukan, melainkan sebuah konsekuensi logis saat keputusan diekspresikan.

Manusia melakukan tindakan kekinian pasti berdasar pada atau masa lalu atau masa depan. Masa lalu karena, dia belajar dari nilai-nilai yang telah memberikan contoh dalam memberikan hasil. Generasi pendahulu merupakan contoh yang bisa memberikan teladan untuk mengetahui pemikiran maupun tindakan. Warisan yang ditinggalkan merupakan referensi dalam aplikasi materi masa sekarang. Keseluruhan hidup manusia ini memanifestasikan sejarah pada tindakan. Karena manusia yang tidak belajar dari sejarahnya berarti hidup tanpa menggunakan akalnya.

Di lain sisi, masa depan merupakan titik acuan sebagai tujuan untuk menggapai target. Orang dengan berwawasan masa depan berarti memiliki [setidaknya] hasrat untuk meraih sesuatu. Dia memiliki rencana, misi, dan hal-hal yang menjadi tolok ukur dalam bertindak. Keseluruhan hidupnya difungsikan untuk masa depan, meraih hal-hal yang diinginkan.

Kebijakan yang kita ambil pada masa sekarang tidaklah an sich untuk masa sekarang. Ini mengindikasikan bahwa keputusan haruslah melewati proses yang tidak sederhana. Keputusan senantiasa berproses untuk latar belakang dan tujuannya. Keputusan bukanlah entitas yang berdiri sendiri, melainkan sebuah pohon yang memiliki akar dan buah. Oleh karena itu ia tidak bisa disesali karena berbuah, melainkan bagaimana kita memberi pupuk atau tidak memberi pupuk.

Kemudian apa yang disebut masa sekarang? Keputusan yang kita ambil “sekarang” seiyanya merupakan manifestasi dan aplikasi dari masa lalu dan untuk masa depan. Oleh sebab itu penyesalan merupakan hal sia-sia karena opurtunis kekinian. Sifatnya yang tabu dan ambigu menunjukkan keberadaannya yang semu. Masa sekarang bukanlah kurun 1 menit, 1 detik, maupun setengah detik karena ia merupakan bayangan dahulu dan nanti. Bagaimana kita akan menyesal di kemudian hari (meyesal belakangan), apabila penyesalan sendiri kita tolak.

salam
kita tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi kita membuat apa yang akan terjadi

Habis Gelap Tiada Terang

Tuesday 7 June 2011

Pada waktu SMA, kami, 40 siswa yang berada di dalam kelas, diperlihatkan sebuah lukisan dengan dimensi kurang lebih 20x30 cm, hitam-putih, dan bergambar kendi. Guru meminta kami mengatakan hal yang berkaitan dengan gambar tersebut dengan satu hembusan nafas. Dan jawaban teman-teman yang saya ingat adalah; tempat minum, cahaya dari sebelah kanan, beratnya sekitar 250 gram, dilukis pak guru, harganya 7500, keren, kalau jatuh pecah, di rumah saya ada, terbuat dari tanah liat, air di dalamnya dingin, hanya muat 2 liter, cara minumnya tidak sopan, jaman dahulu, ……… Setelah masing-masing siswa memberikan pandangannya mengenai gambar tersebut, guru hanya tersenyum dan meminta kami untuk menggambar tempat air mimum yang terbuat dari tanah liat.

Perspektif, mungkin kita sering mengucapkan lema ini ketika berdiskusi dengan yang lain. Berapa luasnya dunia ini, sebanyak itu pula sudut pandang yang ada. Apakah kebenaran terikat nilai ataukah an-sich? Lalu dimana posisi kebenaran? Apakah letaknya di langit yang tak tergapai oleh kita, ataukah di bumi yang mendiami salah satu sudut pandang? Ataukah tidak ada kebenaran?

Kita memiliki banyak argumentasi mengenai sebuah benda, apakah mobil hanya alat transportasi, atau sebuah lambang kekayaan, ataukah rumah kedua. Bagaimana kalau sedikit entitas abstrak, pendidikan. Ataukah pendidikan untuk kepuasan intelektual, atau mencari pekerjaan, atau sebuah prestise, ataukah untuk kesombongan, atau untuk nama baik, ataukah untuk menghiasi nama, atau cuma sekedar mengisi waktu luang. Bagaimana kalau mengenai nilai, kebudayaan. Pasti banyak benturan pada wilayah ini.

Budaya tentulah berbeda tiap masa dan jamannya. Bagaimana apabila dalam satu waktu terdapat dua kebudayaan yang kotradiksi, apakah tidak ada kebenaran, ataukah keduanya benar, atau benar di salah satu. Mari kita daftar budaya yang umum sekarang ini; melakukan hubungan suami-istri sebelum menikah, minum beralkohol, seks bebas, menabung di bank, poligami, nikah-cerai, menggunakan suplemen, pacaran, perayaan ulang tahun, memelihara keperawanan, pesta, musik pop, pulang malam hari, mengumpulkan uang, modifikasi motor, jejaring sosial, memelihara gosip, bermain game di komputer, korupsi, pekerjaan yang memaksa kita tidak menjadi diri sendiri ….

Budaya mana yang benar? Budaya mana yang indah? Budaya mana yang baik? Budaya mana yang harus ditinggalkan? Budaya mana yang harus kita jalani? Budaya mana ……….


salam
kita adalah manusia yang belajar dari kesalahan, yang lain

dari Esensi ke Eksistensi

Thursday 24 March 2011

Kira-kira satu minggu lalu, di sore yang biasa, ada sms dari seorang teman, terakhir dengannya, kami bertemu dan berkomunikasi secara langsung kira-kira enam bulan yang lalu. “Esensi ma eksistensi itu apaan sih dalam pembicaraan tentang wujud”, saya membaca sms tersebut kira-kira jam 16.04 WIB. Saya termangu, diam, dan bingung, bagaimana saya menjawab dan menulis penjelasan yang menghabiskan 14 halaman dari kamus (yang masih penjelasan singkat) ke sebuah layar kecil yang hanya mampu menampung 160 karakter. Satu menit kemudian saya menekan tombol pada peralatan elektronik yang saya genggam sehingga merangkai sebuah kalimat,
”Esensi = ke-ada-an, eksistensi = ke-berada-an”.

Sms, telepon, dan video conference, mungkin setiap dan semua orang yang pernah menggunakan handphone, komputer, dan atau peralatan komunikasi atau peralatan teknologi informasi lainnya, pernah menggunakannya. Apabila tidak puas dengan komunikasi tulis, maka berpindah pada komunikasi lisan, apabila tidak puas dengan komunikasi lisan, maka bertemu muka melalui layar. Kekinian sebagian besar orang telah cukup puas apabila berkomunikasi dengan seseorang yang jauh secara tempat dengan menggunakan fasilitas bertatap muka melalui layar.

Kita ziarah ke sejarah, (dalam kerangka komunikasi cepat dan langsung - dua arah - dengan yang lain pada tempat yang berbeda) komunikasi tulis pertama digunakan pada pengiriman sandi morse. Komunikasi ini berfungsi optimal pada waktu terjadi perang, dimana informasi sangat penting dalam mendukung tujuan dari perang. Apabila kita cetak di sebuah kertas, hasil dari komunikasi ini adalah kumpulan titik dan [mungkin] garis yang terangkai dan mampu dibaca menjadi sebuah kalimat. Tentu saja kelemahan dari komunikasi ini adalah sedikit orang yang mampu membaca dan menyampaikannya pada orang lain.

Komunikasi lisan pertama ditemukan secara tidak sengaja di sebuah bengkel kecil berlantai dua. Secara tidak sengaja dia mendengarkan suara karyawannya yang berada di lantai dasar dalam sebuah percobaan mengirimkan sandi morse. Dia mencoba memperbaharui plat logam yang digunakan dalam pengiriman sinyal, dan tidak disangka plat tersebut mampu untuk menangkap suara (getaran udara) dan mengubahnya menjadi listrik. Komunikasi video, entah kapan kali pertama dilakukan, tiba-tiba seiring dengan perkembangan teknologi, komunikasi video telah beredar luas di kalangan masyarakat.

Kekinian, ketiga komunikasi jauh tersebut beredar di masyarakt dunia, dan hampir setiap orang pernah menggunakannya. Tetapi masih sebagian kecil yang menyadari bahwa ketiga komunikasi tersebut lebih banyak ruginya daripada manfaatnya. Manfaat yang ada merupakan manfaat yang serba instan dan mampu diketahui secara inderawi, berbeda dengan kerugian yang ditimbulkan dengan komunikasi jauh ini. Kerugian yang ada merupakan kerugian tak tampak yang menggerogoti laten sisi kemanusiaan manusia. Psikologis, kasualistis, keberadaan, misi, kebersamaan, sosial, peradaban, seni, etika, estetika, dan masih banyak lagi yang mengurangi sisi kemanusiaan dari deret kebudayaan. Banyak orang mengesampingkan sisi ini demi mendapatkan sesuatu yang praktis dan bermanfaat, tentu saja untuk menegaskan dirinya ada secara fisik dan berada dalam kemanusiannya.

Biasanya seseorang yang ingin menunjukkan dirinya ‘eksis’ dengan mencoba berkomunikasi dengan yang lain, entah komunikasi langsung maupun tidak langsung. Menampilkan tulisan-tulisannya, memberikan foto-fotonya, meninggalkan videonya, mengirimkan paket, bertingkah aneh, mengundang media, membuat perubahan, keberhasilan, kesuksesan, dan masih banyak usaha manusia untuk menunjukkan dirinya ‘eksis’. Kemudian seseorang yang ‘agak mengerti’ mencoba untuk mementingkan esensi daripada eksistensi. Dia mencoba membangun dan memberikan yang tebaik. Melakukan hal-hal yang berguna, menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran, menciptakan masyarakat ideal, membantu sesama, menolong, menyenangkan yang lain, memperindah dir dan lingkungannya, menuju pada kehidupan setelah kematian, dan masih banyak lagi deret tujuan manusia yang esensialis. Tetapi benarkah demikian, aktivitas komunikasi searah merupakan bentuk eksistensi dan aktivitas komunikasi dua arah merupakan bentuk esensi?

salam
darimanapun kita mendaki sebuah gunung, kita akan bertemu di puncaknya