Apa yang membuat kita sama?

Monday 22 October 2012

Saya jadi teringat ketika masih di bangku sekolah, pada pelajaran fisika, guru bertanya; “Apakah mobil yang sedang melaju itu bergerak?”, “bergerak”, dengan spontan kami menjawab. “Apakah papan tulis di depan kalian ini bergerak?”, “tidak”, serentak kami menjawab.  “Dia tidak bergerak terhadap tembok, tetapi terhadap matahari, ia bergerak,” ujar guru fisika kami.
Bergerak, berpindah, dan berbeda, tentu memiliki acuan yang pasti.  Sudut pandang menjadikan mereka memiliki nilai yang lain, tergantung apa yang menjadi acuannya.  Papan tulis tentu tidak bergerak dalam ruang ketika meja yang menjadi acuannya, tetapi tentu saja papan tulis bergerak dalam ruang ketika matahari atau kereta yang sedang melaju, apabila kita menjadikan ini sebagai titik acuan.  Kita mencoba berbeda? Atau kita berbuat berbeda?  Maka pertanyaan yang muncul adalah, apa acuannya?
Tiada hal baru dibawah matahari.  Dari peradaban sumeria sampai dengan peradaban informasi sekarang, sejarah terulang dalam manifestasi yang sama.  Ide, tindakan, maupun artefak yang kita tinggalkan memiliki nilai yang sama pada masanya.  Etika tentu memiliki materi yang berbeda antara sekarang dengan 600 tahun yang lalu.  Tetapi etika memiliki bentuk yang sama sejak awal sejarah manusia tercatat hingga tulisan ini dibuat.  Kita tidak bisa menegasikan entitas selain diri kita, apakah kita berfikir positif, tentu itu menjadi negatif bagi seseorang lain.  Mengapa kita harus berbeda?
Sejarah mencatat, apabila perbedaan kita tonjolkan; perang intern agama, permusuhan yang tak berkesudahan, prasangka buruk pada yang lain, musuh dimana-mana, ketentraman dan ketenangan yang terusik, dan berderet konflik yang lain.  Apabila kesamaan kita agungkan; kesejahteraan yang terejawantah, kebahagiaan yang berlangsung, persamaan yang sederajat, ketenangan dalam berperilaku, dan terikut persatuan dalam sesama. 


salam
Seringkali, untuk melihat siapa diri kita bukanlah apa yang akan kita lakukan, melainkan apa yang telah kita lakukan.

Axios

Friday 21 September 2012

Adalah cabang filsafat yang membahas mengenai nilai.  Secara sederhana nilai dibagi menjadi tiga ukuran, benar-salah, baik-buruk, dan indah-jelek, yang masing-masing terbungkus rapi pada khasanah logika, etika, dan estetika.  Dalam kerangka pemikiran modern, dimana pikiran kita yang menjadi sumber pembahasan, terdapat distingsi "diri yang meluas" dan "diri yang berfikir", secara sederhana, singkat, dan derivasinya ini memberitahukan ada bagian dalam diri yang berfikir dan diri yang bertindak.

Dalam berfikir jelas, kita ma[mp]u melakukan apapun, bahkan hal yang kontradiksi, tetapi bagaimana dengan tindakan, akankah kita menjadikan 2 tolok ukur dalam bertindak, mengingat tindakan kita merupakan satu entitas.  Kita bertindak berdasarkan logika atau kita bertindak berdasarkan etika.  Seni hidup?  Setidaknya kita meninggalkan estetika disini.

Melalui cabang itulah, tumbuh ranting-ranting yang bersinggungan dengan yang lain, dan melalui ranting itulah daun-daun tumbuh dewasa dan cantik.  Tetapi ranting-ranting ini bukanlah sesosok panutan dalam hidup dia hanyalah tempat dimana hubungan sosial dan personal berlanjut.  Pupuk memang terpisah dengan daun, tetapi kita harus yakin pupuk selalu terlibat (atau berusaha terlibat) dalam apapun kejadian dan keputusan sang daun.  Kuat-lah, bukan kuat dalam bertarung, tetapi kuat sebagai manusia.  Torehkan sebuah estetika yang terlukis dalam tindakan, dan tulislah sebuah buku kehidupan yang terbingkai oleh kebijaksanaan. 

Sejarah peradaban manusia merupakan film untuk menunjukkan kemanusiaan kita.  Bagaimana kita menjadikan sejarah sebagai lahan untuk belajar dan pembelajaran, bukan hanya berperan sebagai personal, melainkan juga sebagai sosial.  Permasalahannya sejarah lebih banyak yang tak terekam daripada yang terekam, lebih banyak yang tak tertulis daripada yang tertulis, dan lebih banyak yang terlupakan daripada yang teringat.  Mumpunikah apabila belajar dari sejarah?


salam
apa yang sudah ada, kalau dicari lagi, niscaya akan samar dan tersembunyi

Dia kembali?

Saturday 21 July 2012

apabila ada dua hal yang berbeda, maka
- salah satunya mungkin benar
- keduanya mungkin salah
- keduanya tidak mungkin benar (apakah benar?)

82,7 % isi dari berita media, cetak dan elektronik, menceritakan tentang hal-hal negasi. Setiap hari, bahkan tiap waktu, kita melihat dan mendengar tentang keburukan, kesalahan, kejelekan, dan hal yang bertendensi negatif lainnya mengenai seseorang maupun sesuatu. Korupsi, pelanggaran norma dan etika, kriminalitas, kesesatan, kejahatan, mungkin telah memenuhi isi kepala tiap warga Indonesia.
Siapakah yang salah? Publik figur atau media atau penikmat berita? Publik figur mungkin tidak bisa disalahkan. Ia juga seonggok daging yang sama seperti manusia lainnya. Dia bekerja, melakukan tindakan, berfikir, dan meninggalkan sesuatu seperti biasa adanya. Paradigma lain menganggap bahwa ia berbuat yang tidak biasa, berfikir yang tidak biasa, dan bekerja tidak biasa. Terkadang kita menilai lain karena kita berada di luarnya. Media juga tidak bisa kita salahkan, ia hanya sesosok pekerjaan yang ingin merekam kejadian dan peristiwa yang ada. Ia hanya mencatat deretan fakta dan mewujudkannya dalam bentuk yang lain. Penikmat berita jelas juga tidak bisa disalahkan dalam hal ini. Dia hanya menerima susuatu yang disuguhkan di depannya. Ia terima atau ia tolak, haknya yang tidak bisa disalahkan.
Lalu siapa yang layak kita salahkan? Apakah penulis yang mencoba menyalahkan isi dari pengetahuan yang beredar di masyarakat? Apakah penulis yang memaksa untuk menyalahkan ketiga entitas itu? Apakah penulis yang.....
Kita ketahui bahwa cahaya adalah juga gelombang juga materi. Kita ketahui bahwa musuh kita adalah juga orang lain juga diri sendiri. Kita ketahui bahwa hari ini benar dan kemarin juga benar.

salam
media tidak merefleksikan fakta, tetapi merekonstruksi realita

akhirnya dia kembali

Friday 20 July 2012

Beberapa minggu yang lalu, saya membaca sebuah tulisan yang berisikan tentang penyangkalan dari sebuah keberadaan suatu eksistensi. Sebuah tulisan yang berisikan gugatan dari kebohongan keberadaan. Sebuah tulisan yang memiliki semangat emosional akan sebuah entitas pengetahuan. Sebuah tulisan dari sebuah semangat untuk memperbaiki perbuatan. Sebuah tulisan yang membuat saya memiliki hasrat untuk kembali menulis.
Bulan ini mengingatkan saya akan komunikasi pertama dan (saya tidak berharap) satu-satunya dengan dia. Komunikasi melalui media yang (mungkin) dibencinya. Media yang menjadi pusat dari tulisannya yang telah berlalu.
Akhirnya dia kembali. Dengan melewati berbagai pembicaraan dan perbedaan pendapat, dia tampil dengan satu eksistensi. Semoga dengan eksistensi baru tapi lama ini, dia menjadi semakian kuat, semakin dipercaya, dan semakin berdasar.

salam
dimanapun anda berada, ilmu tak pernah datang menghampiri, tapi ia hadir ketika kita mencari