Gosokan id terhadap Gesekan ego

Wednesday 31 March 2010

Bukanlah gantung cita-citamu setinggi langit, melainkan tanam cita-citamu kedalam tanah.
Langit, dalam astronomi memiliki arti suatu lapisan pemisah antara keberadaan gas dengan ketiadaan gas. Keadaan langit sendiri merupakan gas dan juga non gas. Karena langit merupakan gradasi wilayah keduanya. Langit bisa menjadi keberadaan benda-benda angkasa (pengertian konvensional) dan juga menjadi keberadaan bumi (pengertian konservatif). Tak terlepas dari makna keduanya, sebagian besar manusia menggantungkan cita-citanya pada langit, setinggi langit. Apabila langit memiliki pengait, dimana pengait untuk menggantungkan cita-cita? Apabila penggantung letaknya di atas, Atas kita (manusia yang ada di Indonesia) berbeda dengan atas mereka (manusia yang ada di Australia, Asia, Eropa, Amerika, Afrika). Apabila cita-cita dimaknai perjalanan hidup manusia, dan apabila cita-cita di langit, maka sebagaimana manusia dengan langit, manusia akan jauh dalam perjalananNya. Andaikata cita-cita ditanam dalam tanah, maka manusia dengan mudah akan mencari tempat untuk menanamnya, memupuknya, mengairinya, dan tentu saja manusia akan senantiasa bersamaNya.

Takdir tak dapat diubah, tetapi nasib dapat diubah. Apakah demikian maknanya? Manusia dikutuk untuk bebas. Kita bebas untuk melakukan apapun, kita bebas untuk berfikir apapun, dan kita bebas untuk berharap apapun. Kebebasan ini terletak pada takbebasan lingkungan. Bukan karena konsekuensi yang mengekang kebebasan atau kebebasan yang bertanggung jawab, melainkan perlibatan kebebasan dalam diri manusia. Hasil dari perbuatan? tentu saja beriringan dengan perbuatan, lalu apakah bisa diubah? Kemudian, 'apa yang terjadi' juga tidak bisa diubah? keputusan, kebijakan, kebijaksanaan, kita ada untuk memilih.

Pilihan bukanlah suatu hal yang sederhana, pilihan bukanlah sesuatu hal yang rumit, dan pilihan bukanlah suatu hal yang harus. Kita memilih bukan karena resiko yang lebih sedikit dan kecil, kita memilih bukan karena keuntungan yang besar dan kebaikan laten, dan kita memilih bukan karena tidak ada pilihan. Menentukan dan penentuan perjalanan hidup dan mati kita terlibatkan dalam situasi dan kondisi yang ada dan berada.

Apabila kehidupan kita sebuah garis, dan ada titik di depan sebagai cita-cita yang harus digapai dan dicapai, maka tentunya kita bukan personal yang berdiri sendirian. Kita sesosok makhluk yang hidup berdampingan dan bersinggungan dengan yang lain. Kebijakan dan kebijaksanaan kita merupakan gesekan dan gosokan dengan sesuatu di luar diri kita secara individu. Dengan senantiasa menggosok keputusan dalam asahan pilihan perjalanan hidup dan kehidupan, maka keterlibatan aksi yang diikuti reaksi yang sama besar dan berlawanan arah akan menjadi utuh. Garis bukanlah hubungan dari dua titik, titik bukanlah partikel yang berlawanan dengan gelombang, dan gelombang bukanlah ketakberaturan dalam sebuah garis.

salam
mimpi bukanlah impian apabila ia menjadi sebuah kenyataan

berita, Awal cerita Akhir derita

Tuesday 23 March 2010

Kita sepakat bahwa rekreasi memiliki arti penyegaran kembali atau hiburan. Tetapi apakah salah apabila rekreasi kita artikan menciptakan kembali atau membuat ulang?

Kita juga sepakat reproduksi memiliki arti pengembangbiakan atau perbanyakan jasad hidup. Tetapi apakah salah apabila reproduksi kita artikan menghasilkan kembali atau membuat kembali?

Bahasa Indonesia merupakan ubahan dan gubahan bahasa dari berbagai kondisi geografis di muka bumi. Bahasa Indonesia merupakan saduran dan paduan dari berbagai jenis ujaran dari banyak jenis manusia yang menghidupi bumi. Dan bahasa Indonesia adalah bahasa tumpah darah (perjuangan), bahasa kebangsaan (kesatuan), dan bahasa persatuan (komunikasi). Bahasa Indonesia tidak hanya sekedar sekumpulan bahasa atau kumpulan ujaran atau bahasa pemersatu, melainkan memiliki semangat representasi dan interpretasi dari suatu gejala. Rekreasi? Kita bisa memaknainya membuat ulang, ?

Waktu, seiyanya menjadi satu makna dalam mengiringi perjalanan manusia dalam aktivitasnya. Atau jam 12 malam atau jam 00.00 atau jam 24.00 atau jam 12 dini hari, apakah kita memiliki satu bahasa dalam paradigma waktu? Setidaknya semua aktivitas dan kegiatan manusia dilakukan berdasarkan latar yang sama, yakni waktu. Atau jan 12 malam atau jam 00.00 atau jam 24.00 atau jam 12 dini hari seharusnya demikian juga dalam belahan bumi lain, tidak tergantung pada derajat bujur yang memisahkan sistem administrasi yang berjalan. Reproduksi? Kita bisa memaknainya membuat kembali, ?

Kita sepakat, bahasa tidak hanya sekedar lisan, bahasa tidak sekedar ujaran, bahasa tidak sekedar simbol, dan bahasa tidak sekedar tulisan. Bahkan kita juga mengamini bahwa daun yang rontok dari dahan juga termasuk bahasa. Orang tua yang sedang memarahi anaknya adalah bahasa, cara kita bertingkah laku termasuk bahasa, dan diam merupakan bahasa.

Rekreasi, atau membuat ulang niscaya kita lakukan dalam proses kehidupan yang lebih baik. Norma, sistem, hukum, teknologi, dan berbagai bidang kehidupan lain telah berevolusi dan [ber]revolusi untuk menjadi lebih baik. Kita harus senantiasa menyambung tongkat estafet dari generasi pendahulu yang telah menorehkan searah dalam membuat sistem yang baik. Akankah tongkat itu kita buang dan kita jerembabkan pada sikap kita yang tidak mau untuk membuat ulang?

Reproduksi, atau membuat kembali selalu berkaitan dengan arus perbudayaan yang sedang berjalan. Entah peradaban atau masih kebudayaan, peran reproduksi selalu kontingen dengan aksiologi. Tapi seiyanya kontingensi itu selalu mengarah dan menuju pada tataran yang lebih indah (bukan lebih baik apalagi lebih benar).

Kita hanya perlu melihat penanda dari sebuah petanda, hingga akhirnya tanda akan menampilkan dirinya sendiri. Tanda tidak akan berani keluar apabila kita masih memilahkan dengan tegas keberadaan penanda dan petanda. Rekreasi dan reproduksi merupakan relasi dari akar yang merepresentasikan pohon kemanusiaan yang utuh.


salam
kita harus senantiasa prokreasi dan rekreasi, karena perjalanan manusia adalah produksi dan reproduksi

ziarah ke sejarah

Tuesday 9 March 2010

Kita mendapati, 2660-an tahun yang lalu, logos menempati posisinya dalam menggantikan mitos. Pemilihan dan pemilahan terhadap hal ini dilakukan hingga kekinian. Dimulai dengan sebuah pertanyaan, (dan diakhirikah dengan sebuah pertanyaan juga?) sang bayi belajar merangkak. Dalam perangkakannya dia diklasifikasikan dengan sangat jenius terhadap bidang-bidang permasalahan yang berkaitan dalam arus besar pemikiran manusia. Dan disertai dengan peran manusia dalam hidup dan kehidupan, sang bayi belajar berjalan. Sekitar 610 tahun yang lalu, sang bayi belajar berlari dengan menggenggam sebuah alat yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Ketika masih merangkak sang bayi tidak bisa jauh-jauh dari ibunya. Sang bayi selalu bertanya pada ibunya, siapa dia? apa perannya? mengapa dia ada? bagaimana yang seharusnya? kapan dia lahir? dan dimana lingkungannya? Tentu saja, karena ia masih dekat dengan ibunya, dia mendapatkan jawaban yang penuh dengan kebijaksanaan. Situasi dan kondisi yang ia alami masih sejauh ia merangkak.

Sang bayi-pun berjalan, dan dia mulai berteman dengan berbagai kebaikan dan keburukan dalam pertemanannya. Kini ia agak jauh dengan sang ibu. Awalnya di luar rumah, kemudian berjalan sampai di luar keluarga, dan berjalan lagi entah kemana. Sang bayi menemukan kepastian dalam hal-hal yang dikaji manusia, tetapi ia juga menemukan kesosialan dalam bidang manusia, ditambah lagi dengan kebudayaan dalam peran manusia. Dalam ke-berjalan-annya (bukan perjalanannya) sang bayi berkembang dengan rasionalitas dan fungsionalitas. Tetapi sang ibu mampu mengejarnya, dan memberikan sang bayi minum dikala dia haus.

Sang bayi sudah bisa berlari dengan kencangnya, sang ibu tidak mungkin untuk mengejarnya. Ibunya hanya bisa melihat, anaknya berlari dengan alat-alat kebutuhan manusia. Kini sang ibu tidak mampu memberi minum anaknya. Dengan alat-alat ditangannya sang bayi merasa mampu menguasai segalanya. Dalam keber-lari-annya (bukan pelariannya) dia banyak meninggalkan jejak - dan jejak yang ditinggalkannya saat ia berjalan - berlari pada arah yang berbeda dan dengan tujuan yang berbeda. Sang bayi kini tidak utuh lagi, dirinya terbagi dalam visi kehidupannya.

Dia haus, dia telah meminum samudera ilmu pengetahuan. Dia mampu menciptakan apapun yang dia butuhkan, tetapi dia tidak mampu membutuhkan apa yang dia ciptakan. Dia mampu menjalani kehidupan, tetapi dia tidak mampu menghidupi perjalanannya.


salam
Orang yang tidak mengejar apa-apa akan mendapatkan segalanya, dan ketika ia membuang ego, alam semesta itulah yang akan menjadi ego-nya ()

Probabilitas ke[men]jadian

Wednesday 3 March 2010

Apabila, suara yang mampu didengar manusia memiliki frekuensi 20 Hz – 20 KHz, gelombang radio memiliki frekuensi 200 MHz – 10 GHz, cahaya tampak memiliki frekuensi 100 THz – 780 THz, dan sinar X memiliki frekuensi 10 PHz – 10 EHz, maka benda yang mampu disentuh manusia seharusnya tidak bergetar. Tetapi apabila manusia mampu bergerak 100 THz, dapat dipastikan ia mampu menangkap petir. Benarkah?

S[u]atu waktu tentunya kita pernah merasakan (memahami dengan perasaan), saat kita memiliki keinginan, seketika itu juga keinginan tersebut hadir dengan proses yang mengesankan. Saat kita mempunyai acara, acara tersebut sukses dengan ketidaktahuan rasional. Saat kita teringat teman lama (jauh), kurang dari 24 jam kita bertemu dengannya. Kita menyebutnya, kebetulan.

Tetapi kita juga pernah mengalami, ketika dalam suatu diskusi, tiba-tiba kita lupa terhadap hal yang kita bicarakan. Ketika kita mengadakan outbond, secara tiba-tiba hujan dan angin datang dengan kencangnya. Ketika kita bepergian, roda kehilangan tekanan udaranya. Dan ketika kita sangat membutuhkan alat elektronik untuk suatu hal, tiba-tiba terjadi ketidakwajaran dalam peralatan elektronik tersebut. Akankah kita masih menyebut, kebetulan?

Kebetulan, kita sering mengungkapkan kata ini sendirian, bahkan terkadang ditemani senyuman. Acapkali kita menganggap koinsidensi dengan menggeli[sah]kan, tertopang apakah mengafirmasi atau menegasi dengan harapan kita. Tetapi juga harus kita sadari, fenomena tersebut tidak terjadi an sich pada diri kita, melainkan terkoneksi dengan yang lain. Posisi ini menjadikan kita mengamini terhadap mysterious coincidences.

Alih-alih konektivitas yang luas, fenomena ini menunjukkan adanya suatu blue print akan sesuatu. Suatu misi terhadap visi yang universal. Tentu saja, hal ini diakibatkan karena kita bukanlah makhluk tunggal yang menghiasi hidup dan kehidupan.
Apakah kebetulan merupakan lema yang berlawanan dengan perencanaan?


salam
Hal itu bukanlah sesuatu yang dapat dikatakan kepadanya, ia harus mencari untuk dirinya sendiri