Wednesday, 11 December 2013
Selamat
Pertama (tetapi bukan yang utama) saya harus mengucapkan
kata tersebut atas keberhasilan dan kesuksesan dalam menyelesaikan hal yang
harus diselesaikan. Saya tidak akan
larut dalam euphoria perayaan yang dilakukan.
Mungkin itu peran yang dimainkan di sekitar kelulusan, drama yang saya
mainkan mungkin agak berbeda dari lingkungan itu. Apabila secara tersurat, kilasan pertama yang
melintas dalam benak mengenai kata “selamat” merupakan bentuk afirmatif, entah
itu bermakna kebahagiaan, kesuksesan, keberhasilan, dan lema yang seperti
itu. Pernahkan terbesit bahwa “selamat”
juga memiliki makna negasi? Bagi saya,
berpisah, jalan, berjumpa lagi, berharap, memiliki makna negatif ketika
disematkan setelah selamat. Mungkin berbeda
dengan yang lain?
Tradisi
Apabila saya melihat pola kegiatan kekinian, maka dapat
disimpulkan bahwa manusia memiliki peran dalam aktivitasnya dalam tiga
dunia. Dunia pekerjaan, dunia pendidikan
formal, dan dunia sosial / pertemanan. Dari
usia 6 tahun sampai 22 tahun kita berada dalam dunia pendidikan. Lingkungan yang kita kenal dan membuat kita
berpengetahuan berada pada dunia ini. Tidak
banyak aktivitas yang kita lakukan dalam dunia ini. Kita seakan menjadi manusia pasif dengan
segala perangkatnya. Di dunia pekerjaan, kita mampu untuk mewujud dalam
eksistensi identitas. Pekerjaan apapun
yang kita lakukan, kita dipacu untuk akitif dalam menjalani waktu. Pada dunia yang ketiga, dunia pertemanan,
kita bisa menjadi sesuai yang kita inginkan.
Jati diri yang mewujud pada hubungan-hubungan sosial kita. Pertemanan, mungkin merupakan refleksi dari
persaudaraan. Hubungan keluarga dan
tetangga adalah kulminasi dari roh sa-udara.
Budaya
Universitas, harusnya menjadikan seseorang berfikir
universal. Tetapi faktanya universitas
merupakan kumpulan fakultas dimana seseorang yang berada di dalamnya dipastikan
memiliki logika berfikir pada bidang pengetahuannya. Skenario yang kita jalankan merupakan esensi
dari drama kepribadian kita. Saat ini,
mungkin adalah perjalanan terakhir dalam menempuh pendidikan formalnya. Di usia 22 tahun, telah berhasil menempuk
gelar magister, merupakan hal yang membanggakan bagi sebagian umat manusia. Pertanyaannya bukan untuk apa pendidikan yang
kini telah ditempuh, melainkan bagaimana pendidikan yang telah ditempuh
memengaruhi tiap keputusan yang diambil!
Peradaban
Kalau sekedar bertujuan menyampaikan informasi dan
pengetahuan, tak satupun universitas punya justifikasi apapun untuk tetap
berdiri sejak berkembangnya mesin cetak di abad kelimabelas. Ditambah lagi, pada masa kini, informasi
virtual digital telah menjadi budaya masyarakat kebanyakan. Representasi televisi telah menjadi pengganti
pengalaman aktual yang harus dihayati. Kita
tidak bisa menafikan banyaknya tayangan amoral tetapi tidak sedikit juga yang imoral. Karena kini, eksistensi istilah yang bisa
dibilang berlawanan atau muncul sebagai akibat dari istilah lain mulai
menandakan sesuatu yang substansial. Dalam
modernitas, segala sesuatunya jelas pada tempatnya. Tempat belanja, tempat ibadah, tempat tinggal
menempati satu ruang yang beridentitas mandiri.
Kini, horizon itu menempati titik abu-abu. Sekarang bahkan hampir tidak bisa dipisahkan antara
tempat belanja, tempat ibadah, dan tempat tinggal.
Salam
kita tidak bisa memahami kekinian atau menilai segala
sesuatu hanya berdasarkan masa kini saja